Kesimpulan dan Refleksi Pemikiran Ki Hadjar Dewantara
Oleh : Novi Safitri, S.Pd
Calon Guru Penggerak Kab. Garut
Dari masa
ke masa, pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan. Perkembangan
tersebut tentu tidak terlepas dari perjuangan para tokoh bangsa. Tokoh pejuang
pendidikan yang sudah tidak asing lagi ialah Raden Mas Soewardi Soerjadiningrat
atau yang lebih dikenal dengan Ki Hajar Dewantara. Beliau merupakan sosok yang
berperan penting dalam perkembangan dunia pendidikan di Indonesia. Sebagai
seorang yang hidup di zaman kolonial, beliau turut merasakan pendidikan yang
kala itu hanya bertujuan untuk kepentingan Belanda. Hingga akhirnya di tahun 1920
beliau mendirikan Taman Siswa sebagai lahirnya cita-cita baru bagi jiwa rakyat
untuk merdeka dan bebas.
Ki Hajar Dewantara mengatakan, pendidikan
adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. Dalam hal ini,
pendidikan dan kebudayaan menjadi sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Disetiap
kebudayaan juga pasti berbeda antara suatu budaya dengan budaya lainnya. Namun
perbedaan tersebut justru harus menjadi kekuatan bagi kita. Bukan dipandang sebagai
sebuah kekurangan.
Ki Hajar Dewantara
juga memfilosofikan seorang pendidik sebagai petani, dan siswa adalah benih
atau biji yg ditanamnya. Jika sebuah benih dirawat dengan baik, dengan
pengairan, tanah, atau pupuk yang baik, maka ia akan tumbuh menjadi tanaman
yang baik. Namun, sebaliknya jika petani tidak bisa merawat tanaman tersebut,
maka ia tidak akan tumbuh dengan baik. Biji yang ditanam juga tentunya
beranekaragam jenisnya. Sehingga layaknya petani, pendidik harus bisa
menumbuhkan benih-benih tersebut sesuai dengan jenis (kodrat)nya. Jika benih
tersebut adalah benih jagung, maka tidak mungkin ia tumbuh menjadi padi. Begitu
pula sebaliknya. Maka rawatlah tanaman tersebut sesuai dengan jenis benihnya. Seperti
siswa, yang juga memiliki kodrat nya masing-masing.
Sejalan
dengan Ki Hajar Dewantara yang mengatakan bahwa tujuan pendidikan yaitu
"menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai
manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya
dapat menuntun tumbuh atau
hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya
(bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan
kodrat anak”
Dalam hal
ini, tugas seorang pendidik hanyalah menuntun, membimbing siswa dan memberi
petunjuk jalan kehidupan sesuai bakatnya, agar tidak keluar dari jalur yang
dapat berdampak buruk bagi kehidupannya. Dengan tanpa adanya paksaan. Sehingga
dalam menuntun ini harus disesuaikan dengan kodrat anak.
Salah satu
kodrat anak adalah bermain. “Permainan anak itulah pendidikan”,
Ki Hajar Dewantara (Pendidikan, halaman 241). Dalam hal ini pendidik harus
memahami bahwa kodrat anak adalah bermain sehingga pembelajaran bisa
diintegraskan dengan bermain sambil belajar. Dalam menuntun anak, kita dapat
melakukannya dalam sebuah permainan yang dapat mengembangkan bakat dan
minatnya.
Pemikiran KHD selanjutnya ialah budi pekerti, atau watak/karakter yang merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor).
Dalam
menuntun segala kodrat anak, seorang pendidik sebaiknya menerapkan sistem
among.. Salah satu sistem yang dikemukakan oleh Ki Hajar dewantara ini melarang
pelaksanaan hukuman dan pemaksaan dalam KBM karena akan menghambat pertumbuhan
jiwa merdeka sang anak. Sanksi kepada siswa harus seimbang, netral dan adil.
Dalam sistem among, pengajaran berarti mendidik anak akan menjadi manusia yang
merdeka batinnya, merdeka fikirannya dan merdeka tenaganya. Pendidik sebagai
pamong mencermati garis kodrat kemampuan siswa agar jiwanya merdeka lahir
batin. Sistem ini sebagai implementasi dalam menciptakan hidup salam dan
bahagia: selamat lahirnya dan bahagia batinnya, dicapai dengan kecukupan
lahirnya dan bebas merdeka jiwanya, bebas dari gangguan lahir batin dan ketakutan
(Ki Hajar Dewantara)
Dengan
begitu, dapat terwujud pula pendidikan yang berpihak pada siswa. Ada istilah
mengatakan pendidik harus “menghamba pada Sang Anak”. Hal ini
bukan berarti merendahkan diri untuk melayani anak atau siswa, akan tetapi
maknanya bahwa pendidik itu lebih mementingkan Sang Anak sehingga segala
sesuatu yang pendidik lakukan ikhlas dan berpusat pada anak. Sesuai dengan
semboyan Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani
yang artinya di depan memberikan teladan, di tengah membangun semangat dan
dibelakang memberi dukungan.
Selain itu,
Ki Hajar Dewantara menjelaskan bahwa dasar pendidikan anak berhubungan dengan
kodrat alam dan kodrat zaman. Berbicara tentang zaman, artinya pendidikan juga tidak terlepas dari
sebuah perubahan. Pendidikan dan kebudayaan tidak boleh statis, harus terus
bergerak sesuai kodrat alam dan kodrat zaman. Dimana setiap zaman tentunya akan
berubah-ubah dan memilki tantangan tersendiri. Seperti saat ini, pendidikan
global telah mengarahkan kita pada dunia digital yang tentunya tidak terlepas
dari berbagai pengaruh dari luar, yang akan mempengaruhi kebudayaan bangsa
kita. Dalam menghadapi kodrat zaman ini, asas trikon menjadi sebuah kiat dalam
mengelola kebudayaan bangsa. Ki Hajar Dewantara sendiri telah mempraktekkan
metode olah budaya trikon di Indonesia sejak tahun 1915. Konvergen,
bahwa kita tidak menutup diri dengan perkembangan kebudayaan dunia. Selanjutnya
konsentris, berpegang teguh kepada budaya sendiri memperkuat
kepribadian nasional. Dan kontinyu, mengolah budaya sendiri
secara berkesinambungan, dari masa lalu, masa kini, dan masa datang.
Dengan menerapkan filosofi pendidikan sesuai dengan
pemikiran Ki Hajar Dewantara, maka
kita dapat mewujudkan Merdeka Belajar. Dimana tujuan utama kerangka filosofis
Merdeka Belajar yaitu “Pelajar Indonesia merupakan pelajar sepanjang
hayat yang memiliki kompetensi global dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai
Pancasila”.
Kerangka Filosofis ‘Merdeka Belajar’ mengacu pada 6 Profil Pelajar Pancasila, yaitu: Beriman dan Bertaqwa kepada Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, Kreatif, Gotong Royong, Berkebhinekaan Global, Bernalar Kritis, dan Mandiri.
Refleksi
Berikut adalah refleksi dan pengkajian saya tentang proses pembelajaran yang telah dan akan saya lakukan agar dapat mengimplementasikan tujuan pembelajaran yang sesuai dengan filosofi Ki Hajar Dewantara :
1. Apa yang saya percaya tentang murid dan pembelajaran di kelas sebelum saya mempelajari dan memahami filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara?
Pada kurikulum 2013,
student center yang sesuai dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara ini memang sudah
sering saya dengar. Bahkan dari sejak di bangku kuliah, sudah dikenalkan dengan
berbagai model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Namun pada kenyataannya,
praktek di lapangan tidak seindah teori yang dipelajari. Saya sendiri masih
menganggap siswa sebagai sebuah obyek yang harus dijejali dengan berbagai
materi yang sudah tertuang di buku dan kurikulum yang berlaku. Sehingga buku
yang digunakan seolah menjadi sebuah kitab suci yang bersifat mutlak. Walaupun
memang terkadang saya juga bereksplorasi dengan materi-materi yang sudah ada.
Namun, tetap saja saya melakukannya dengan tanpa memperhatikan keberadaan siswa
yang aktif, kreatif, dan beragam tentunya. Sehingga dalam hal ini gurulah yang
berkuasa, padahal siswa bukanlah kertas kosong yang belum tentu tidak tahu
apa-apa. Justru terkadang mereka lebih pintar daripada gurunya. Hanya saja
sebagai guru terkadang merasa dirinya paling mengerti, padahal cara mengerti seorang
guru tentunya berbeda dengan cara berpikir siswa untuk bisa mengerti.
Tanpa disadari, kegiatan
pembelajaran berjalan sesuai keinginan guru. Tanpa memperhatikan potensi yang
dimiliki anak. Sehingga potensi anak tidak dapat berkembang dengan baik, karena
harus menuruti gaya belajar gurunya.
Pembelajaran juga
ditekankan pada ketercapaian materi sesuai dengan jangka waktu yang telah
ditentukan. Tanpa memperhatikan kondisi siswa yang beragam. Sehingga hal ini
berdampak pada pembelajaran yang tidak menyenangkan dan terkesan memaksa siswa.
Selain itu, selama ini
pembelajaran yang dilakukan hanya berorientasi pada nilai. KKM menjadi sebuah
alasan pembelajaran yang dilakukan bertujuan untuk sebuah nilai semata.
Sementara, keberadaan siswa yang beragam potensinya menjadi terabaikan.
2. Apa yang berubah dari pemikiran/perilaku saya setelah mempelajari dan memahami filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara?
Setelah mempelajari dan
memahami filosofi pendidikan Ki Hajar Dewantara, saya menyadari bahwa setiap
anak memiliki kodratnya masing-masing. Tidak bisa disamaratakan, khususnya
dalam proses pembelajaran. Ada yang mudah mengerti, ada pula yang sulit
mengerti. Disinilah tugas kita sebagai seorang guru harus mampu membuat sebuah
rancangan pembelajaran yang dapat diaplikasikan di kelas untuk mengcover semua
kelebihan dan kekurangan siswa.
Seorang guru juga perlu
menganalisis potensi yang dimiliki setiap siswa, agar dalam prosesnya
pembelajaran dapat berjalan dengan menyenangkan sesuai bakat dan minat siswa.
Sehingga siswa tidak merasa terpaksa.
Proses pembelajaran juga
hendaknya dikolaborasikan dengan berbagai sumber bejar, alam, permainan, serta
budaya lokal yang dapat mengembangkan budi pekerti sehingga siswa dapat
berkreasi sesuai dengan potensinya.
Selain itu dengan pengembangan daya cipta, rasa, dan karsa hendaknya pembelajaran yang diberikan oleh guru untuk pencapaian tujuan pembelajaran hendaknya tidak hanya mengukur kemampuan kognitif dan berorientasi pada nilai peserta didik, tetapi juga menumbuhkan sikap dan kemampuan psikomotornya.
3. Apa yang bisa
segera saya terapkan lebih baik agar kelas saya mencerminkan filosofi
pendidikan Ki Hajar Dewantara?
- Berusaha menerapkan konsep menuntun. Membimbing siswa dan memberi peluang untukmemilih kegiatan yang sesuai dengan keinginannya. Memberikan pembelajaran yang sesuai dengan potensi dan lingkungannya, tidak harus selalu terpaku pada buku.
- Membiasakan konsep salam dan bahagia. Dimulai dari hal-hal kecil, seperti selalu menyapa anak, memberi perhatian dengan menanyakan anak yang tidak hadir atau tidak melaporkan tugasnya.
- Menerapkan proses belajar sambil bermain, dengan memaksimalkan kebudayaan lokal yang ada di lingkungan siswa.
- Berusaha menerapkan profil pelajar Pancasila pada diri anak, Beriman dan Bertaqwa kepada Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, Kreatif, Gotong Royong, Berkebhinekaan Global, Bernalar Kritis, dan Mandiri.
- Memaksimalkan penerapan sistem among dalam pembelajaran untuk membangun anak didik menjadi manusia beriman dan bertaqwa, merdeka lahir dan batin, berbudi pekerti luhur, cerdas dan berketerampilan, sehat jasmani maupun rohani. Selain itu tujuan dari sistem among adalah agar setiap anak kelak menjadi anggota masyarakat yang mandiri dan bertanggung jawab atas kesejahteraan tanah air serta manusia pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar